Selasa, 01 September 2009

konsep kota kompak

Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan wacana yang diistilahkan sebagai kota kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting dewasa ini. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka.
Darai debat itu argument-argumen yang kuat sedang dimunculkan bahwa kota kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku mereka yang berjudul Compact City : A Sustainable Urban Form ? buku ini juga sekaligus mengajukan berbagai opini dan riset dari serangkaian disiplin ilmu, dan memberikan suatu pemahaman dari debat teoritis dan tantangan-tantangan praktis yang melingkupi gagasan kota kompak ini. Tidak dipungkiri bahwa gagasan kota kompak didominasi oleh medel dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi kota kompak adalah komunitas Eropa (Commission of the European Cummunities).
Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesderhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah “Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi social” (Elkin et.al., 1991, p.12).
Namun demikian dalam kota kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan “urban containment” yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh karena itu promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal), kenyamanan berlalu lintas, berjalan kaki dan bersepeda adalah sering dikutip sebagai solusi (Elkin et.al., 1991, Newman, 1994).
Lebih lanjut melalui perencanaan efisiensi penggunaan jalan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; owens, 1992). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (Fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan social (Houghton and Hunter, 1994).
Menerapkan secara penuh gagasan kota kompak bagi perencanaan kota-kota di Indonesia jelas masih membutuhkan kajian, studi dan riset tersendiri. Bagaimanapun konsep kota kompak bukanlah konsep yang kaku dan sederhana yang menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota dan hudaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa kota kompak juga perlu dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota (urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien.
Namun ada hal yang sudah pasti yakni jika kita melihat kota-kota besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan Surabaya, adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas. Pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan kota Jakarta seperti kota Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dll. Banyak pegawai yang tinggalnya di Jakarta tetapi tinggalnya di kota-kota pinggiran tersebut hal ini sudah dipastikan adany inefisiensi waktu, tenaga, dana, sumber-sumber energy dan lain-lain. Maka membangun kota yang padat dan vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota Jakarta dan kota-kota lainnya di masa yang akan datang.
Inefisiensi itu lebih diperparah lagi ketika perkembangan kota-kota besar itu belum diiringi denga penyediaan transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi kota-kota besar di Indonesia, dalam hal ini penyediaan transportasi public misalnya busway, monorail dan berbagai jenis mode transportasi masal jelas sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Kemacetan di kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera di akhiri. Pada akhirnya konsumsi energi khususnya minyak BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan juga bisa sangat terkurangi.

s e p e d a

Berbagai hal mengenai sepeda baik yang berasal dari hasil studi, penelitian maupun standar kebijaksanaan (NSPM) antara lain :
Sepeda sebagai salah satu moda transportasi darat
Menurut Khan (1994) pesepeda hanya memerlukan capital cost yang kecil untuk kendaraan dan memerlukan infrastruktur yang lebih sedikit serta tidak menimbulkan polusi udara maupun suara, sehingga sarana transportasi ini merupakan sarana transportasi yang ramah terhadap lingkungan.
Menurut Susanto dan kawaan-kawan (1998) kini pengguna sepeda sebagai transportasi moda utama sering diindetikkan dengan masyarakat ekonomi kelas rendah, waktu bagi mereka bukan merupakan nilai yang perlu diperhitungkan. Jadi lebih baik naik sepeda dari pada menumpang kendaraan umum yang harus mengeluarkan biaya ekstra.
Keunggulan dan kelemahan moda transportasi sepeda
Keunggulan sepeda disbanding kendaraan bermotor adalah sepeda memberikan beban yang lebih kecil kepada lingkungan, hanya memerlukan energi yang sedikit dan biaya operasional yang diperlukan relatif kecil. Sedangkan kelemahan sepeda antara lain sulit untuk menempuh perjalanan jauh karena dijalankan oleh tenaga manusia. Bersepeda di daerah berbukit atau saat hujan dirasa kurang nyaman bila dibandingkan dengan mengendarai mobil, dan dilihat dari cara mengendarainya mudah mengalami kehilangan keseimbangan sehingga menimbulkan kecelekaan bagi pengendaranya. (Susanto dkk, 1998).
Tingkat kecelakaan dan keselamatan pada pengendara sepeda
Terjadinya kecelakaan pesepeda tidak selalu ditimbulkan oleh satu sebab tetapi oleh kombinasi berbagai efek dari sejumlah kelemahan atau gangguan yang berkaitan dengan pemakai dan lingkungannya misalnya tata letak kota, kebijakan lalu lintas, kondisi lingkungan (permukaan jalan), waktu, cuaca dan lain sebagainya. (Hobbs, 1995)
Menurut Mikko Rasanen (1997) keamanan merupakan hal yang sangat penting dalam berlalu lintas sehingga diperlukan kesadaran dan perhatian dari pengguna jalan khususnya pengendara sepeda itu sendiri terhadap peraturan-peraturan lalu lintas seperti marka jalan dan rambu-rambu lalu lintas yang ada.
Mencermati uraian pendapat di atas dapat disimpulkan kecelakaan yang dialami pesepeda disebabkan karena kurangnya daya dukung lingkungan terhadap lalu lintas sepeda. Daya dukung lingkungan diantaranya adalah ketersediaan fasilitas dalam berlalu lintas bagi pengguna sepeda, sehingga pesepeda merasa aman dalam mengendarai sepeda di jalan raya tanpa ada rasa takut terserempet atau tertabrak kendaraan bermotor.
Asumsi sepeda dalam arus lalu lintas
Kendaraan tak bermotor dalam MKJI 1997 adalah kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh tenaga orang atau hewan meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong sesuai klasifikasi Bina Marga. Sebagai catatan kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas tetapi sebagai unsure dari side barrier (hambatan samping) (MKJI Ditjen Bina Marga, 1997). Sepeda dianggap sebagai hambatan samping karena kemampuan bergeraknya yang rendah dan tidak merupakan kendaraan bermotor, sehingga dikategorikan kendaraan lambat.