Minggu, 26 Juli 2009

kota hemat energi

Pertumbuhan kota yang nyaris tanpa batas wilayah merupakan fenomena kota-kota di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Munculnya kota-kota yang tersebar ke dalam wilayah pinggiran berakibat pada tersebarnya dan kurang meratanya penyediaan pelayanan-pelayanan dari sub-suburban. Akibat lainnya adalah mahalnya biaya pembangunan infrastruktur, meningkatnya kemacetan karena makin bertambahnya volume lalu lintas, hilangnya banyak lahan pertanian, berkurangnya kenyamanan hidup baik di kota maupun di pinggiran serta terancamnya kondisi stabilitas pedesaan yang akhirnya konsumsi energi bagi kota dan warganya juga akan semakin besar dan tidak terelakkan. Dengan kecenderungan ini maka kota-kota akan makin dipandang sebagai lokasi yang paling banyak mengkonsumsi energi.

Penggunaan kendaraan pribadi seakan-akan merupakan satu-satunya jawaban bagi kebutuhan mobilitas yang tidak dapat di tawar. Pertumbuhan jumlah kendaraan di Indonesia (yang sekarang digolongkan negara miskin) mencapai lima juta unit pertahun. Betapa makin beratnya beban yang ditanggung oleh kota-kota kita setiap tahun. Pertumbuhan tersebut memiliki korelasi positif terhadap besarnya polusi dan telah menempatkan Jakarta sebagai kota ketiga terpolusi di dunia, bagaimana dengan kota Banjarmasin dan kota-kota lain di Kalimantan Selatan ? tentu jawabannya adalah belum separah kota Jakarta namun sedang berjalan menuju kearah tersebut walaupun lambat.

Dengan kepadatan populasi penduduk yang besar, maka konsentrasi persoalan-persoalan lingkungan, konsumsi sumber-sumber alam termasuk minyak, akan terakumulasi pada problematika kota, oleh karena itu merencanakan dan mengelola bentuk dan ruang kota dengan kebijakan public yang benar akan menjadi faktor kunci keberhasilan penghematan energi, pada akhirnya jika kebijakan dan prakteknya dapat ditemukan dan dijalankan dengan benar sudah dipastikan akan didapatkan efisiensi dan keuntungan yang besar. Salah satu pandangan/pendapat dalam mewujudkan kota hemat energi adalah kota kompak yang berkelanjutan (sustainable compact city) berciri-ciri fisik sebagai berikut :

Perkembangan Kota Vertikal

Fenomena perkembangan kota-kota di Indonesia saat ini adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas, pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan kota inti. Dengan banyaknya warga masyarakat yang bekerja di kota inti tetapi tinggal di kota-kota pinggiran pasti menyebabkan inefisiensi dari segi waktu, tenaga dan biaya juga masalah konsumsi energi. Oleh sebab itu pembangunan kota secara vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota. Pertumbuhan kota yang cenderung padat dan melebar seharusnya diubah menjadi pertumbuhan yang padat dan tumbuh secara vertikal untuk menjadi kota yang kompak. Solusi hidup dengan bangunan tinggi dengan campuran berbagai fungsi sudah merupakan keharusan atau minimal mulai dipikirkan dan direncanakan, tujuannya untuk memindahkan pergerak eksternal antar wilayah menjadi pergerakan internal dalam kawasan.

Sistim Transportasi Massal

Banyaknya inefisiensi di bidang energi dalam perkembangan kota di Indonesia karena belum tersediannya transportasi masal yang representatif dan memadai. Kemacetan yang terjadi di banyak kota di Indonesia akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera di akhiri, dengan demikian konsumsi energi khususnya BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan sangat bisa terkurangi. Untuk menghambat penggunaan kendaraan pribadi, tingkat pelayanan transportasi massal harus lebih tinggi dari pada tingkat pelayanan mobil dan motor pribadi minimal dalam hal penghematan waktu dan biaya.

Kota Berinti Ganda

Tata guna lahan yang kompak dapat dilakukan dengan menempatkan daerah pemukiman dan komersial serta fungsi lahan lainnya dalam satu lokasi untuk mengurangi akan kebutuhan mobilitas. Dalam satu rencana tata ruang makro, penerapan kota berinti ganda dengan pusat aktifitas dan fasilitas umum yang menyebar di beberapa titik akan mencegah tertariknya mobilitas hanya ke satu titik yang berresiko pada kemacetan, jarak tempuh yang jauh yang otomatis konsumsi bahan bakar menjadi tinggi.

Tata Banguna dan Lingkungan Hemat Energi

Permukaan atap datar bangunan berkepadatan tinggi, aspal untuk jalan dan ruang terbuka (misalnya lapangan parkir) serta kurangnya area hijau di perkotaan berpotensi menjadikan kota sebagai urban heat island yang panasnya bisa mencapai 30 derajat celcius lebih tinggi dibanding daerah rural. Panas yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan konsumsi energi listrik untuk pendinginan, sementara listrik kita saat ini masih bergantung pada BBM. Contoh di Luar negeri yakni di Amerika Serikat tepatnya di kota los Angeles gerakan cool community dengan menanam 3 pohon per satu bangunan, memperbaiki atap dan perkerasan dengan material yang lebih reflektif terhadap panas telah berhasil mengurangi pemakaian listrik sampai dengan setengah giga watt pertahun yang senilai dengan setengah milyar dollar AS.

Kalau pemerintah serius terhadap hal ini bisa saja mereka mewajibkan mengubah aspal di lapangan parker dengan grass block, pencahayaan alamiah di siang hari dengan bukaan yang optimal akan mengurangi energi listrik untuk penerangan ruangan dan penghawaan buatan.

Ruang Pejalan Kaki

Jalur sirkulasi di hampir seluruh kota di Indonesia memberi porsi yang lebih besar bagi kendaraan bermotor, sementara trotoar tak lebih dari 1,2 meter saja lebarnya dan harus berbagi dengan pot bunga, tong sampah, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Kita sering menjumpai trotoar yang tidak nyaman untuk dilewati pejalan kaki misalnya permukaan trotoar yang tidak rata (naik-turun) sehingga pejalan kaki harus berjalan naik turun karena trotoar terpotong oleh akses masuk halam permukiman, pertokoan perkantoran dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat pejalan kaki enggan berjalan di atas trotoar dan memilih berjalan pada lajur yang diperuntukan bagi kendaraan bermotor. Pengadaan trotoar yang representatif mungkin dirasa belum perlu karena jumlah pejalan kaki di Indonesia masih sangat sedikit, tetapi mungkinkah jumlah pejalan kaki akan meningkat bila pedestrian (prasarana pejalan kaki) masih tidak nyaman untuk di gunakan. Jadi selama ini terjadi sikap saling menunggu antara pengadaan pedestrian dan pejalan kaki. Selain itu pengadaan lajur untuk kendaraan tak bermotor seperti sepeda juga jarang ditemui di kota-kota di Indonesia sebab sampai saat ini jumlah pesepeda di Indonesia masih sangat rendah sehingga pemerintah merasa belum perlu pengadaan lajur untuk sepeda.

Senin, 20 Juli 2009

manajemen dilema

sering kita mendengar tentang adanya dilema saaat pemerintah daerah hendak mengadakan pembaharuan/perbaikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. salah satu contoh yang sering terjadi di daerah-daerah di indonesia adalah adanya rencana perluasan jaringan (trayek) angkutan umum yang akan menjangkau tiap sudut wilayah. konsep atau rencana tersebut berawal dari adanya keinginan agar masyarakat dapat menggunakan jasa angkutan umum dengan mudah dan tentunya lebih murah, sebab keterbatasan jaringan trayek akan memacu bagi pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi dan meningginya angka biaya hidup karena harus menyediakan dana yang tinggi dalam melakukan perjalanan untuk kegiatan sehari-hari. Kebijakan perluasan jaringan trayek angkutan umum sering ditentang oleh pelaku/penyedia jasa transportasi mandiri terutama peng-ojek dan penarik becak karena dengan adanya perluasan trayek angkutan umum otomatis akan mengurangi pendapatan mereka karena tersaingi oleh angkutan umum yang lebih murah.

Melihat fenomena di atas nampaknya pihak pengambil kebijakan dalam pembangunan serasa di disodorkan buah simalakama (bentuk buahnya gimana ya.....). menghadapai kenyataana tersebut tentu dituntut kearifan dan kecermatan dalam mengambil keputusan untuk mengakomodasi kebutuhan kedua pihak .........to be continue

Selasa, 14 Juli 2009

pembinaan perkotaan menuju kesejahteraan sosial

Secara harfiah kesejahteraan adalah suatu keadaan/kondisi yang terdapat rasa aman, tentram, makmur yang dirasakan oleh seluruh masyarakat secara bersama-sama. Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Bab I pasal 2 ayat 1 kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun sprituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yangmemungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan Pancasila. Kata “Sosial” berasal dari kata “Socio” yaitu menyangkut masalah kemasyarakatan, jadi pengertian Kesejahteraan Sosial dengan menggunakan kalimat yang mudah dimengerti semua orang adalah Keadaan aman, tentram, makmur yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Pihak yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam pembinaan perkotaan adalah Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), pembinaan yang dilakukan dalam usaha pengembangan pengembangan kesejahteraan sosial di perkotaan meliputi :
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK)
Masih adanya masalah di perkotaan yang disebabkan oleh tata ruang kota yang tidak dapat mengantisipasi perkembangan kota yang dinamis. Seiring perkembangan kota tersebut timbul masalah-maslah sosial yang menganggu kegiatan sehari-hari warga kota . Tata ruang kota berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam, lingkungan sosial serta potensinya. Suatu rencana tata ruang hendaknya bersifat mengarah pada pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi, misalnya penyediaan kawasan Industri yang disertai membuka jalan yang efisien bagi pemasaran produk maupun keperluan bahan baku . Guna mengatasi maslah diperkotaan yang berkaitan dengan penataan ruang hendaknya RTRK mempunyai sifat-sifat yaitu Akomodatif yaitu mencerminkan pemerataan bagi seluruh lapisan masyarakat kota mengingat warga kota adalah masyarakat yang heterogen. Suatu RTRK yang bersifat akomodatif akan membentuk Kota Akomodatif, ukuran akomodatif suatu kota dapat dilihat dari tinggi rendahnya angka kemiskinan, pengangguran dan derajat kesehatan warganya. Antisipatif yaitu mampu mengantisipasi segala kemungkinan perubahan yang terjadi akibat adanya bencana alam, pertumbuhan penduduk dan akibat dari perkembangan kota itu sendiri akibat dari aktivitas ekonomi dan sosial warganya, selain itu juga perlu mempertimbangkan perkembangan dari kota atau wilayah lain disekitarnya. Berwawasan lingkungan yaitu kota yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi warganya.
RTRK merupakan “wadah” dalam arti mengakomodasi aspirasi warga kota , walaupun dalam penyusunannya dilaksanakan oleh pemerintah tetapi harus memperhatikan saran, permohonan dan keberatan warganya. RTRK juga merupakan “pengarah” yaitu mengarahkan bagaimana dan kemana arah pembangunan yang hendak dilaksanakan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pembinaan Aktivitas Perkotaan
Aktivitas warga perkotaan identik dengan fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Pemerintahan, Pusat Pelayanan Umum dan Pusat tumbuh kembangnya ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga pembinaan yang perlu dilakukan dapat berupa pemberlakuan Peraturan Daerah yang mendukung bagi tumbuh kembangnya ekonomi, sosial dan budaya, peningkatan pelayanan umum yang menyangkut masalah penyederhanaan prosedur dan penyelesaian yang cepat serta penanganan masalah sosial yang antara lain gelandangan, pengemis, kaki lima dan sebagainya.
Pembinaan Aparat
Pembinaan aparat pemerintah daerah guna membentuk aparat pemerintah yang memiliki dedikasi dan komitmen terhadap tugasnya. Pembinaan aparat diarahkan pada optimalisasi pada Budaya tertib yaitu berlaku tertib dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya misalnya tertib administrasi dan tertib menjalankan mekanisme kerja. Budaya disiplin yang terdiri dari Disiplin Kerja yaitu melaksanakan tugas dan tanggung jawab tanpa disertai niat/tujuan lain dan pekerjaan lain di luar dari apa yang telah dilimpahkan kepadanya dan menjadi tanggung jawabnya. Disiplin Waktu yaitu berkaitan dengan masalah pengatura/pembagian waktu kerja dan jam kerja. Disiplin Norma yaitu berkaitan dengan mental dan kepribadian baik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin Profesi yaitu berkaitan dengan upaya pembentukan aparat pemerintah daerah yang professional sehingga sadar dengan apa yang telah menjadi profesi dan tanggung jawabnya dan terus mengembangkan potensi diri guna menunjang dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Pembinaan Partisipasi Sosial Masyarakat
Guna menumbuhkan partisipasi sosial masyarakat dalam pembangunan perkotaan perlu pembinaan yang diarahkan pada Peningkatan pendaya gunaan kekuatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dan swasta. Meningkatkan dan memantapkan peran pemerintah sebagai pendorong peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan kota/daerah. Menciptakan iklim yang kondusif bagi peran serta swasta dan masyarakat. Meningkatkan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pembinaan Kelembagaan
Pembinaan diarahkan pada terciptanya pola kerja sama antar lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah (swasta dan swadaya masyarakat). Pola kerja sama antar lembaga sebaiknya berupa pembagian tugas dari masing-masing lembaga dengan prinsip saling menghargai tata cara penyelesain tugas.
Usaha pembinaan kota merupakan tanggung jawab kepala daerah sebagai sebagai coordinator pembangunan di daerah. Pembinaan yang dilakukan kepala daerah dengan dibantu oleh seluruh aparat pemerintahan di daerah hendaknya diarahkan pada fungsi pengembangan kesejahteraan sosial yang memiliki cirri-ciri meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh, meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab nasyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama di wilayahnya, meningkatkan upaya pencegahan terhadap dampak permasalahan.

manajemen jamur dalam memilih lokasi pasar tradisional

Ide tulisan ini berawal dari saat saya menelepon teman saya yang sedang menempuh pendidikan tingkat magister di kota Surabaya, saat itu dia sedang berjuang menyusun tesis tentang salah satu pasar tradisional, yang bertema bagaimana agar bangunan pasar tradisional yang megah dan indah itu dipenuhi oleh pedagang dan ramai dikunjungi oleh pembeli sehingga bangunan tersebut benar-benar berfungsi sebagai pasar. Namun tulisan ini hanya beropini tentang salah satu hal yang sebaiknya menjadi pertimbangan dalam perencanaan mendirikan pasar tradisional. Karena masalah sepinya pedagang pada pasar tradisional yang baru berdiri merupakan hal yang sering terjadi tidak hanya di Kalimantan Selatan.

Perbedaan pasar modern dan pasar tradisional adalah saat proses transaksi jual beli, dimana pada pasar tradisional terjadi hubungan emosional antara pedagang dan pembeli karena adanya komunikasi dalam tawar menawar harga barang, hal tersebut tidak terjadi pada pasar modern dimana semua harga barang dagangan telah terbandrol sehingga pembeli tinggal mengambil dan membawa ke kasir dan membayar sesuai bandrol harga barang. Berbelanja di pasar tradisional masih merupakan kegemaran sebagian besar masyarakat Indonesia baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah meskipun dalam bebelanja harus melewati lorong-lorong pasar yang kotor dan becek sehabis hujan.

Awal dari berdirinya atau lebih tepat dikatakan tumbuhnya pasar tradisional seperti tumbuhnya jamur. Jamur hanya tumbuh pada tempat-tempat tertentu yang artinya adalah tidak tumbuh di sembarang tempat. Tidak semua tempat di muka bumi bisa ditumbuhi jamur, hanya tempat-tempat yang mempunyai karakteristik tertentu jamur bisa tumbuh misalnya salah satunya adalah kelembabannya. Demikian juga dengan tumbuhnya pasar, bila kita menengok ke belakang asal muasal dari sebagian besar pasar tradisional di Indonesia adalah berawal dari adanya transaksi yang serba dalam jumlah kecil baik jumlah pedagangnya, pembelinya, barang dagangannya maupun jumlah uang yang dipakai sebagai alat tukar, namun transaksi tersebut terjadi berulang-ulang setiap hari dan terus berkembang. Melihat fakta tersebut kita bisa ketahui mengapa bangunan pasar yang megah pada suatu area yang asalnya bukan pasar sepi pedagang dan pembeli. Untuk mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut perlu kajian lebih jauh tentang budaya masyarakat setempat dan ilmu Ekonomi, yang selanjutnya dijadikan pertimbangan bagi rencana mendirikan pasar yang baru yang berkapasitas besar dengan segala kemewahannya.

Bagaimana dengan Relokasi atau memindahkan pedagang pasar tradisional ? kembali kita lihat tumbuhan jamur, tumbuhan jamur akan mati saat dipindahkan secara sembarangan, perlu suatu cara tertentu untuk dapat memindahkan jamur ketempat lain agar jamur tetap hidup sehingga harus dipindahkan juga habitatnya. Tidak seperti memindahkan pohon pisang yang hanya dengan mencabut dan menanamnya kembali di tempat lain. Melihat fakta tentang jamur tadi sangat mirip dengan fakta yang terjadi saat ada upaya relokasi pedagang pasar yang selalu mendapat reaksi penolakan dari pedagang pasar dengan alasan utama lokasi yang baru tidak memberikan keuntungan bagi usahanya yang disebabkan berbagai macam faktor yang mungkin diantaranya karena letak pasar yang kurang strategis, harga sewa yang mahal dan lain sebagainya. Dampak dari relokasi pasar yang gagal adalah potensial bagi tumbuhnya pasar-pasar baru yang berskala kecil atau istilah urang banjar adalah pasar sajumput.

Tempat atau lokasi yang potensial untuk berdirinya pasar tradisional sesuai dengan kebiasaan pedagang (terutama pedagang eceran) dalam memilih Lokasi Bisnis Eceran. Lokasi memang merupakan salah satu hal yang sangat mendukung sukses tidaknya suatu bisnis. Tetapi tiap lokasi memiliki daya dukung atau pengaruh yang berbeda-beda terhadap suatu bisnis. Suatu lokasi bias saja menguntungkan atau bahkan merugikan. Karena itu anda harus selektif dalam memilih lokasi bisnis, termasuk bisnis eceran sekalipun. Lalu lokasi seperti apa yang menguntungkan, khususnya untuk bisnis eceran? Berikut ini adalah lokasi bisnis eceran yang cukup strategis :

Pusat Kota

Kota merupakan lokasi yang menjanjikan bagi jalannya bisnis, menempatkan bisnis eceran dipusat kota memiliki beberapa keuntungan, misalnya lebih menarik konsumen karena banyak orang yang lalu lalang sehingga banyak konsumen yang tak terduga, hanya tentu saja persaingan bisnis di kota lebih ketat selain itu cost yang dibutuhkan lebih besar karena biasanya sewa tempatnya lebih mahal bila dibandingkan dengan daerah non perkotaan.

Pemukiman Penduduk

Keuntungan bisinis eceran di daerah pemukiman adalah biaya operasional dan biaya sewa tempat yang lebih kecil , serta hubungan dengan pelanggan lebih dekat sehingga lebih mudah terjadi interaksi yang menurus ke perkembangan bisnis.

sedangkan penyebab sulitnya diadakan relokasi pedagang pasar tradisional karena adanya kebiasaan pedagang dalam memilih lokasi bisnis eceran selain dua tempat yang telah tersebut di atas yakni :

Pusat perbelanjaan

Pusat perbelanjaan seperti mall, pertokoan, pasar tradisional merupakan lokasi yang tepat untuk bisnis eceran, karena lokasi ini memungkinkan prinsip one stop shopping, jika konsumen tertarik mendatangi satu pedagang, kemungkinan konsumen itu juga akan mendatangi pedagang lainnya, hal ini berarti membuka peluang bagi pedgang lain disekitarnya. Mendekati Pesaing dengan memilih lokasi yang dekat dengan pesaing atau pelaku bisnis di bidang yang sama menjadi pilihan. Paling tidak pelanggan para pesaing juga akan mengunjungi kegiatan bisnis anda jika pesaing kehabisan stok barang yang biasa mereka jual, memungkinkan pelanggan beralih ke bisnis anda. Selain itu juga memungkinkan terjadinya kerja sama yang keuntungannya akan dirasakan bersama-sama.

Bagian akhir dari tulisan ini adalah merupakan uraian singkat tentang jabaran operasional dari Manajemen Jamur di atas yakni sebagai berikut :

Karena pasar tradisional tidak dapat didirikan pada sembarang tempat maka perlu dicari dan atau diciptakan tempat-tempat yang berpotensi untuk dijadikan lokasi pasar tradisional baru dengan tetap mengacu kebiasaan pedagang dalam memilih lokasi berdagang. Dalam mengembangkan kawasan pemukiman penduduk hendaknya direncanakan/disediakan pula area untuk mendirikan pasar karena pemukiman penduduk merupakan tempat yang sangat potensial bagi tumbuhnya pasar tradisional.

ucapan terima kasih kepada seseorang yang telah menulis tentang lokasi bisnis eceran, so smart

suburbanisasi

(gambar lalu lintas di daerah suburban)
Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa maksud dari judul di atas adalah perpindahan penduduk dari kota maupun desa ke daerah pinggiran kota yang sering disebut dengan istilah asing suburban, seperti halnya urbanisasi yang oleh kebanyakan masyarakat di definisikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, hal ini dijelaskan lebih dahulu mengingat adanya beberapa pendapat tentang definisi urbanisasi yang tentunya akan berkaitan dengan suburbanisasi diantaranya adalah sebagai berikut : Pengertian urbanisasi sudah umum diketahui oleh mereka yang banyak bergelut di bidang kependudukan, khususnya mobilitas penduduk. Namun demikian, mereka yang awam dengan ilmu kependudukan sering kali kurang tepat dalam memakai istilah tersebut. Dalam pengertian yang sesungguhnya, urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota . Padahal perpindahan penduduk dari desa ke kota hanya salah satu penyebab proses urbanisasi, di samping penyebab-penyebab lain seperti pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, maupun perubahan status wilayah dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, dan semacamnya itu. (Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia )
Geliat pembangunan kawasan suburban (Salah satu contoh Kertak Hanyar-Gambut) belakangan ini sangat terasa, dimana disepanjang jalan arteri semakin tumbuh menjamur bangunan-bangunan baik untuk industri, pergudangan, permukiman maupun yang lainnya. Semakin terbatasnya lahan pada kota utama ( Banjarmasin ) menyebabkan penduduk kota lebih memilih tinggal di kawasan suburban. Harga lahan yang relatif rendah juga menjadi faktor pendorong penduduk kota untuk membangun rumah atau industri yang kemudian tinggal di kawasan suburban.
Salah satu dari teori klasik dan neo klasik tentang urbanisasi adalah Teori-teori demografis tentang urbanisasi dan migrasi. Teori-teori ini didominasi oleh model faktor pendorong-penarik, yang memandang kota sebagai faktor penarik sedangkan desa sebagai faktor pendorong. Teori-teori ini cenderung berifat deskriptif-analitis, yang terbatas pada framework demografis. Ditinjau dari model faktor pendorong-penarik suburbanisasi merupakan kontra urbanisasi bila tinjauan terbatas hanya pada masalah ketersediaan lahan, terutama lahan untuk pemukiman dan industri. Fenomena suburbanisasi di Indonesia salah satu ciri dari globalisasi pada kawasan suburban. Faktor-faktor pendorongnya merupakan kombinasi dari kekuatan politik ekonomi yang bergerak yang bergerak pada tataran makro hingga mikro. Hal ini kemudian berdampak pada perkembangan penggunaan lahan kota dan pola interaksi dari aktivitas yang belangsung di atasnya dan pada sisi lain terjadi peningkatan eksploitasi lahan terutama konversi lahan pertanian produktif maupun kawasan konservasi dan perluasan kerusakan ekosistim lokal. Karakteristik suburbanisasi kota-kota di Indonesia umumnya sama yaitu dicirikan oleh faktor tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduk pada kota utama sehingga mengakibatkan adanya perkembangan perumahan di wilayah suburban baik skala kecil, menengah atau besar yang biasanya sangat tergantung pada jumlah penduduk kota utama dan perkembangan kawasan industri di wilayah suburban. Bahasa penyampaian secara sederhana dengan kalimat yang jelas, ringkas dan mudah untuk dimengerti semua masyarakat tentang faktor-faktor penyebab suburbanisasi adalah :
1. Semakin menyempit dan mahalnya harga lahan di Banjarmasin dan meningkatnya penjualan lahan di kawasan suburban.
2. Peningkatan permintaan perumahan bagi masyarakat disemua golongan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk kota Banjarmasin .
3. Adanya perluasan jaringan transportasi (jalan lingkar) yang merupakan faktor penarik bagi tumbuhnya bangunan baik untuk perumahan, industri atau yang lainnya.
Dampak suburbanisasi bagi kota utama adalah dapat membantu pengendalian jumlah penduduk walaupun hasilnya tidak signifikan, sedangkan bagi wilayah suburban sendiri adalah sangat menunjang bagi usaha percepatan perkembangan wilayah. Karena pembangunan suatu wilayah tetap mengacu pada penduduk atau masyarakat sebagai subyek maupun obyek pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan . Dengan demikian, suburbanisasi seperti halnya urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat. Namun demikian mekanisme perkembangan kota/wilayah yang terjadi selama ini sering tanpa kendali terutama perkembangan kawasan perkotaan di kawasan pinggiran (sub urban) yang ditujukkan melalui fenomena urban sprawl yaitu fenomena perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi di kawasan pinggiran secara tidak teratur dan meloncat-loncat. Urban sprawl terjadi karena lahan di perkotaan semakin langka dan mahal sehingga terjadi kecenderungan penduduk perkotaan memilih bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota (sub urban), tetapi konversi lahan yang terjadi tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang sehingga perkembangan perumahan di wilayah pinggiran cenderung mengikuti jaringan jalan yang sudah ada sehingga tidak tersebar secara merata dan bersifat meloncat. Akibatnya terjadilah kantong-kantong permukiman yang mengindikasikan gejala urban sprawl, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan akan sarana dan prasarana serta ketidakefisienan penyediaan sarana dan prasarana. Lebih jauh lagi adalah terjadinya kemacetan lalu lintas karena pola arus pergerakan periodik antara daerah pinggiran dan pusat kota (Hornby & Jones, 1991).
Hal yang harus dilakukan dalam perencanaan pembangunan kawasan suburban adalah mempelajari dan menghindari kesalahan-kesalahan perencanaan pembangunan pada kota utama yang meliputi aspek tata ruang, aspek transportasi, aspek industri dan aspek perumahan. Bentuk-bentuk pelanggaran dalam pemanfaatan ruang perkotaan biasanya berupa :P emanfaatan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang atau penggunaan lahan yang telah ditetapkan dalam RTRW. Pemanfaatan sesuai dengan fungsi ruang tetapi luasan tidak sesuai dengan ketentuan dalam RTRW. Pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang, tetapi kondisi teknis pemanfaatan ruang (bangunan, proporsi pemanfaatan, dan lain-lain) tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan dalam RTRW. Pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang tetapi bentuk atau pola pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RTRW.

agropolitan untuk daerah suburban

Perkembangan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akan diikuti oleh kebutuhan ruang/lahan terutama utuk memenuhi kebutuhan perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Dampak dari ketersediaan lahan yang sangat terbatas maka terdapat kecenderungan perkembangan kota bergeser ke kawasan pinggiran kota (sub urban) dengan lahan yang masih luas dan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan harga tanah di daerah urban. Dampak dari perkembangan kota jelas menyebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian pada daerah penyangga yang tentunya akan berdampak negatiF bagi kota itu sendiri karena kemampuan daerah penyangga untuk memenuhi kebutuhan kota semakin berkurang. Melihat kejadian tersebut kiranya perlu adanya upaya mempertahankan semua potensi yang ada di daerah penyangga dengan tanpa menghalangi laju perkembangannya.

Konsep Agropolitan dikembangkan sebagai siasat baru pembangunan daerah karena konsep Growth Pole yang diaplikasikan mulai tahun 1970 an dinilai justru memperlebar ketimpangan antara kota dan desa. Efek penjalaran pertumbuhan (spread effect) yang diperkirakan terjadi oleh Myrdal dan Efek Penetesan (trickling down effect) yang diramalkan oleh Hirshman ternyata jauh lebih kecil dibandingkan Back Wash Effect dan Polarization yang mengakibatkan aliran ke pusat jauh lebih besar daripada aliran ke desa. Akibatnya dikotomi kota dan desa justru semakin lebar, perbedaan antara si kaya dan si miskin juga semakin lebar. Terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota-kota besar (urbanisasi).

Menyadari kegagalan ini Friedmann & Mike Douglass mengembangkan pendekatan baru yang lebih berlandaskan basic needs dan focus pembangunan ada di pedesaan melalui pengembangan Agropolitan. Agropolitan adalah kota pertanian (agro = pertanian, politan = kota) atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistim dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong kegiatan pembangunan pertanian (agrobisnis) di wilayah sekitarnya.

Apabila kita pelajari sejarah perkembangan kota-kota di Indonesia sebagian besar kota besar, menengah dan kecil tumbuh dan berkembang dengan dukungan kegiatan pertanian di wilayah hinterland nya. Kota Bandung, Bogor , Malang , Cianjur, Garut dan lain-lain semuanya tumbuh karena dukungan kegiatan pertanian dan hinterlandnya. Sedikit berbeda dengan Jakarta , Semarang , Surabaya , Cirebon yang tumbuh karena adanya pelabuhan dan industri sebagai leading sector nya. Celakanya industri yang tumbuh dan berkembang bukannya industri yang raw material oriented dengan kata lain yang memperhatikan potensi sumberdaya setempat, tetapi justru industri yang padat modal dan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang tidak seirama/sesuai dengan tenaga terampil yang tersedia di sekitar lokasi tersebut.

Secara teoritis pertumbuhan wilayah dimungkinkan apabila terjadi pertumbuhan modal yang bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya modal dan sumberdaya lingkungan. Selanjutnya pengembangan sumberdaya, tersebut akan menimbulkan arus barang sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi.

Mencermati semua fakta dan uraian di atas nampaknya konsep agropolitan cocok untuk dijadikan salah satu alternatif dalam pengembangan wilayah Kecamatan Gambut dan sekitarnya. Kecamatan Gambut merupakan daerah sub urban yang mempunyai potensi besar di bidang pertanian dan menyandang status sebagai lumbung padi untuk daerah-daerah di Propinsi Kalimantan Selatan. Wilayah Gambut dan sekitarnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi agropolitan dengan hinterlandnya adalah desa-desa yang ada disekitarnya baik yang ada dalam wilayah Kecamatan Gambut maupun Kecamatan Lainnya.

Fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi merupakan hal yang akan menjadi penyebab kegagalan konsep agropolitan karena semakin banyak jumlah penduduk yang masuk akan semakin mengurangi lahan pertanian, untuk mencegah hal tersebut perlu adanya tindakan yang serius dalam mempertahankan pemanfaatan ruang yang telah digariskan dalam tata ruang wilayah sehingga lahan pertanian tidak berubah fungsi. Konsep pengembangan wilayah pemukiman terutama dalam hal tata bangunan yang sesuai untuk agropolitan adalah dengan menbangun pemukiman secara vertikal (bangunan bertingkat) yang tentunya lebih menghemat lahan. Gambaran tentang keadaan fisik agropolitan adalah sebuah kota dimana dengan ciri fisik bangunan bertingkat, dengan struktur tata ruang dimana wilayah non pertanian (terutama pemukiman dan industri) letaknya berbatasan dengan jalan hingga batas tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku sampai dengan wilayah pertanian

Yang perlu diupayakan ialah bagaimana agar industri yang berkembang di Agropolitan ialah industri yang mempunyai kaitan kedepan (forward linkage) dan kaitan kebelakang (backward linkage) dengan kegiatan pertanian yang dikembangkan di hinterlandnya, yaitu dengan membangun industri yang mengolah hasil pertanian dari daerah hinterlandnya, sementara pemerintah pusat/propinsi memberi dukungan melalui pelatihan bagi petani, dukungan pemasaran dan informasi. Setiap kawasan tentunya dikembangkan dengan spesifikasinya sendiri (1 Agropolitan dengan 1 komoditi unggulan). Pembangunan suatu daerah jangan meniru (blue print) dari daerah lain yang sudah berhasil. Tetapi setiap daerah harus mempunyai komoditi unggulan atau karakter tersendiri.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini perlu diketahui bahwa pemahaman mengenai konsep agropolitan hendaknya tidak perlu terpaku pada definisi atau pengertian tentang kota dan desa, dimana dari sekian banyak pengertian kota dan desa yang berasal dari berbagai aspek atau sudut pandang salah satunya adalah mendefinisikan kota sebagai suatu wilayah yang aktivitas penduduknya tidak dibidang agraris (pertanian), hal ini tentu bertolak belakang dengan agropolitan yang aktivitas dari mayoritas warganya adalah di bidang pertanian, hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan apakah wilayah agropolitan merupakan wilayah perkotaan atau perdesaan? diskusi untuk menjawab pertanyaan itu tidaklah penting karena yang lebih penting adalah bagaimana cara mewujudkan agropolitan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

angkutan umum

tujuan utama pengadaan transportasi umum sebenarnya agar masyarakat umum dari semua lapisan sosial dapat melakukan perjalanan ke tempat tujuan yang tentu saja disertai dengan perasaaan aman dan nyaman saat melakukan perjalanan, sehingga masyarakat dapat beraktivitas dalam pemenuhan kebutuhannya dengan aman dan nyaman pula. namun kenyataan sekarang yang kita lihat fakta di lapangan keberadaan angkutan umum moda darat tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut, sehingga masyarakat enggan menggunakan jasanya dan lebih suka menggunakan kendaraan pribadi yang tentunya jauh lebih nyaman. penyebab ketidak nyamanan armada transportasi umum transportasi umum adalah karena penyedia jasa transportasi umum diserahkan oleh pihak swasta perorangan yang tidak berbadan hukum sehingga pemerintah sulit mengadakan pengawasan terutama yang berkaitan dengan mutu pelayanan.

tentang lalu lintas (ekspresi kekhawatiran)

aku tinggal disebuah kawasan suburban yang sampai saat ini jauh dari permasalahan lalu lintas seperti kemacetan, sehingga masalah lalu lintas bukan merupakan sesuatu yang harus serius dipikirakan seperti yang terjadi pada kota-kota besar di Pulau Jawa, sehingga Dinas Perhubungan pada tingkat kabupaten pun hanya sibuk mengatur trayek angkutan umum, parkir dan lain sebagainya yang tidak menggambarkan upaya memenej atau merekayasa lalu lintas. jadi jangan terkejut jika anda tidak menemukan data tentang kapasaitas jalan, analisa bangkitan perjalanan dan lain sebagainya sebab data-data tersebut memang dianggap belum diperlukan pada saat ini. ketersediaan jaringan jalan dan jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki dan dipergunakan oleh masyarakat perbandingannya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terjadi kemacetan hal tersebut dapat dilihat kenyataan dilapangan meskipun saya yakin belum ada yang pernah melakukan analisa tentang semua fakta yang ada. namun bila melihat angka pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang terus bertambah dan minat penduduk yang semakin besar terhadap kepemilikan kendaraan pribadi saya yakin suatu saat kemacetan lalu lintas akan terjadi pula di daerah saya. di ibukota propinsi banjarmasin masalah kemacetan sudah mulai sering terjadi terutama pada saat jam puncak arus lalu lintas (pagi saat berangkat beraktivitas dan sore saat pulang dari beraktivitas) dan pada titik-titik tertentu terutama pada pusat kegiatan ekonomi (pasar dan pertokoan). ternyata masyarakat kurang hasrat untuk berpikir jangka panjang, lebih suka memikirkan apa yang terjadi saat ini dan bertindak yang berakibat bahaya bagi masa depan. wallahu a’alam.

mungkinkah agropolitan

sektor pertanian sebenarnya merupakan ciri utama bangsa Indonesia dimana Indonesia dikenal dengan negara agraris. kondisi ideal negara agraris setidaknya mampu memenuhi kebutuhan sendiri masalah pangan. syukur-syukur mampu mengekspor ke negara lain. konsep agropolitan saat ini dianggap hal yang paling tepat dalam upaya mengatasi krisis pangan di Indonesia atau setidaknya mengurangi keterhantungan pada impor pangan dari negara lain. kenyataanyang didapati saat ini lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun terus berkurang, sehingga menyebabkan menurunnya hasil produksi pertanian.

usaha pengembangan kawasan agropolitan harus disertai sikap konsisten terhadap upaya mempertahankan lahan pertanian agar tidak berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri atau kwasan lainnya. hal yang paling mengancam bagi upaya mempertahankan keberadaan lahan pertanian adalah adanya pengembangan kawasan pemukiman yaitu semakin maraknya pembangunan real estate atau perumnas yang berlokasi di atas lahan pertanian, hal itu banyak dijumpai pada daerah suburban. pengembangan kawasan pemukiman adalah hal yang tidak mungkin dicegah dan dihalangi, mengingat semakin bertambahnya jumlah penduduk pasti akan memerlukan hunian yang lebih banyak. melihat fakta di atas rasanya akan lebih bijak bila kita memikirkan pembentukan kawasan agropolitan yang dibarengi dengan upaya agar pembangunan kawasan pemukiman yang tidak menimbulkan hilangnya lahan pertanian.

kawasan agropolitan tidak akan berlangsung lama bila pengembangan kawasan pemukiman tidak terkendali, sebab suatu kawasan agropolitan yang mampu meningkatkan perekonomian daerah merupakan kawasan yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi masyarakat untuk tinggal dan bermukim di daerah tesebut yang tentunya disertai dengan membangun tempat tinggal yang semakin lama semakin meluasa dan otomatis lahanpertanianyang produktif semakin lama semakin berkurang.

suburbanisasi vs agropolitan

Kawasan atau ruang suburban akan menjadi tumpuan sekaligus masa depan perkembangan kota-kota di Indonesia, mengingat beban ekologis, sosial dan ekonomi perkotaan sekarang sudah amat berat. Sehingga kawasan suburban layaknya kanvas putih yang siap untuk dilukis di atasnya dimana sang seniman adalah para perencana wilayah. Tumbuhnya permukiman dipinggiran kota merupakan suatu hal yang telah dipandang lazim dalam perkembangan kota. Pengaruh yang mendasari perkembangan ke arah pinggiran kota juga didorong oleh kondisi kota inti yang sudah padat dengan tingkat polusi tinggi dan mahalnya harga lahan. Daldjoeni (1992) mengutip Whynne-Hammond, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suburban sebagai berikut :

1. Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya angkutan umum memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya.

2. Perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan.

3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat yang memungkinkan orang mendapatkan perumahan yang lebih layak.

4. Gerakan pendirian rumah oleh masyarakat. Pemerintah membantu masyarakat yang akan mendirikan rumah lewat pinjaman bank.

5. Dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan.

Kesalahan dalam perencanaan kawasan suburban hanya akan memperluas permasalahan yang ada dan bersumber dari kota inti. Sehingga perlu direncanakan pengembangan kawasan suburban yang yang menjadikan kegagalan pada kota inti sebagai salah satu pijakan dan menghasilkan kawasan baru yang nyaman untuk dihuni, beraktivitas dan mampu meningkatkan kesejahteraan.

Pada awalnya pertimbangan pembangunan perumahan hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selanjutnya dorongan hakikat manusia untuk memperoleh kenyamanan menjadi pendorong meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan suburban. Permasalahan Segregasi Sosial di Suburban walaupun perkembangan terjadi di daerah pinggiran, hal tersebut tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi penduduk lokal. Secara perhitungan ekonomi di atas kertas pertumbuhan kawasan pinggiran menghasilkan eksternalitas yang besar, tumbuhnya investasi membuka kesempatan kerja. Pertanian yang dahulu mendominasi daerah pinggiran kota dengan perputaran uang yang lambat digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa yang mengalir cepat. Secara perhitungan ekonomi hal ini dapat dibenarkan. Namun dengan sudut pandang sosial, eksternalitas masalah baru yang ditimbulkan dari perkembangan sub urban ini bisa jadi lebih besar dibandingkan eksternalitas ekonominya. Perubahan budaya yang cepat tidak sanggup diikuti oleh penduduk asli. Lahan pertanian sebagai aset penduduk asli telah terjual, hasilnya hanya diperuntukkan untuk kegiatan konsumtif. Sedangkan mereka yang masih mempertahankan tanahnya untuk pertanian semakin terdesak oleh lahan terbangun. Penduduk asli tampaknya tidak siap dengan perubahan ini. Budaya agraris yang melatarbelakangi kebiasaan ekonomi menjadikan mereka tidak sanggup mengimbangi kecepatan perputaran ekonomi akibat perubahan yang terjadi. Aset lahan yang terjual tidak digunakan secara produktif, hanya untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan tanah yang terjual telah menjadi perumahan dan tempat usaha bagi penduduk pendatang. Rumah kos, ruko-ruko dan warung kaki lima adalah tempat usaha yang tumbuh dari perubahan di kawasan ini. Eksternalitas ekonomi yang muncul tidak dinikmati oleh penduduk asli.

Membaca uraian kenyataan di atas tampak kontradiktif dengan konsep agropolitan yang sudah barang tentu menjadikan usaha mempertahankan lahan produktif pertanian sebagai tindakan utamanya. Lahan pertanian sebisa mungkin dipertahankan sehingga produksi pertanian tidak menurun yang akan berdampak pada menurunya tingkat kemandirian pangan wilayah. Kebutuhan akan lahan untuk hunian dan lahan untuk pertanian terutama pangan merupakan hal yang tidak mungkin diabaikan dan tidak mungkin hanya dipenuhi salah satu saja, sehingga perlu dikembangkan konsep agropolitan yang mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi penghuninya atau konsep pengembangan kota/wilayah yang seminimal mungkin bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi merupakan hal yang akan menjadi penyebab kegagalan konsep agropolitan karena semakin banyak jumlah penduduk yang masuk akan semakin mengurangi lahan pertanian, untuk mencegah hal tersebut perlu adanya tindakan yang serius dalam mempertahankan pemanfaatan ruang yang telah digariskan dalam tata ruang wilayah sehingga lahan pertanian tidak berubah fungsi. Konsep pengembangan wilayah permukiman terutama dalam hal tata bangunan yang sesuai untuk agropolitan adalah dengan menbangun permukiman secara vertikal (bangunan bertingkat) yang tentunya lebih menghemat lahan. Gambaran tentang keadaan fisik agropolitan adalah sebuah kota dimana dengan ciri fisik bangunan bertingkat, dengan struktur tata ruang dimana wilayah non pertanian (terutama pemukiman dan industri) letaknya berbatasan dengan jalan hingga batas tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku sampai dengan wilayah pertanian. Pemerintah harus mempersiapkan rekayasa sosial budaya karena pembangunan hunian vertikal membawa konsekuensi perubahan tata ruang wilayah, lingkungan hidup, dan sosial budaya masyarakat dari hunian horizontal ke vertikal. Pola pikir perilaku kehidupan di hunian horizontal harus ditinggalkan, etika dan norma baru dalam kehidupan bertetangga dalam hunian vertikal, penggunaan sarana publik bersama-sama dan bertanggung jawab, seperti memakai lift dan mesin cuci bersama. Pakar psikologi sosial, perencana kota, dan perancang bangunan sepakat perubahan pola hidup masyarakat harus ditangani secara serius agar masalah sosial dan kegagalan bangunan dapat diantisipasi. Tampaknya mulai saat ini perlu ditanamkan kepada para pengenbang perumahan bahwa Permasalahan pembangunan perumahan adalah bagaimana mengatasi masalah keterbatasan lahan (efisiensi dan optimalisasi lahan), hemat energi (pengembangan energi alternatif), bahan bangunan murah berkualitas dan biaya terjangkau, kelestarian lingkungan, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

onthelmania = orang yang sok mencintai sepeda onthel

di daerahku provinsi kalimantan selatan kini sering terjadi ada sekumpulan orang yang hampir setiap hari libur mereka berkeliling kota dengan mengendarai sepeda onthel, mereka bangga menyebut dirinya onthelmania dan jumlah mereka semakin lama semakin banyak (menurut pengamatan saya sampai saat ini). mereka mengaku mencintai/menyukai sepeda onthel hanya sebatas bagi kesenangan mereka sendiri dalam menvari hiburan dengan kata lain refreshing. mereka tidak menyadari bahwa saat mereka beraksi dijalan raya dengan jumlah yang banyak akan membentuk sebuah iring-iringan sepeda yang panjang yang jelas mengganggu lalu lintas kendaraan lain yang bertujuan bekerja bukan sekedar mencari kesenangan. walaupun mereka telah mengantongi ijin dari kepolisian atau dikawal oleh polisi, namun tetap aja mengganggu kendaraan lain.

saya berani mengatakan mereka hanyalah orang-orang yang pura-pura menyukai sepeda onthel karena mereka tetap menggunakan kendaraan bermotor saat melakukan aktivitas sehari-hari (kekantor, ke pasar dansebagainya) bahkan saat hendak sholat jum’at pun mereka menggunakan kendaraan bermotor walaupun jarak tempuhnya kurang dari 1.000 meter.

gambaran seorang penyuka/pencinta sepeda onthel adalah bila seseorang menggunakan sepeda onthel pada setiap perjalanan yang jarak tempuhnya bisa dicapai cukup dengan sepeda onthel, dengan kata lain hanya menggunakan kendaraan bermotor jika :

1. jarak tempuh terlalu jauh

2. membawa banyak muatan baik orang maupun barang

3. karena hal2 tertentu yang mengharuskan menggunakan kendaraan bermotor (insya Allah postingannya akan segera saya terbitkan)

saya yakin para onthel mania mampu menempuh perjalanan sampai dengan 5.000 km karena telah terbiasa mengayuh sepeda onthel, hal itu akan sangat positif bila diterapkan pada kegiatan sehari-hari, karena sepeda onthel masih tetap sarana transportasi yang murah, ramah lingkungan dan dapat membantu program pengiritan BBM. wallahu a’lam.

perlukah perlebaran jalan...??

Sebentar lagi jalan di gambutku udah semakin lebar, maksudnya jalan arteri (jalan A. Yani) soalnya sedang mengalami pelebaran ruas jalan yang kurang lebih 3 meter disetiap sisinya, gak tau apa maksud dari pelebaran tersebut, sebab kalau dilihat secara kasat mata kapasitas jalan masih mencukupi dalam artian derajat kejenuhannya gak sampai angka 0,5, mungkin untuk antisipasi di masa yang akan datang (wow…so good…) tapi saya ragu…. sebab saya belum pernah melihat, mendengar atau apapun tentang analisa bangkitan perjalanan untuk ruas jalan tersebut, jadi maksudnya apa ya……???
Saya berpikir mungkin lebih baik dana pelebaran tersebut digunakan untuk normalisasi drainase yang ada disepanjang jalan A. yani yang semakin dangkal dan air semakin meluas saat musim penghujan, dengan adanya pelebaran jalan otomatis drainase/sungai akan menyempit dan saya khawatir pada saat musin penghujan banjir akan semakin meluas dan dalam mungkin dihalaman kantor Kecamatan Gambut banjir semakin dalam dan tidak menutup kemungkinan air masuk ke dalam kantor. Wallahu a’lam…..