Selasa, 14 Juli 2009

suburbanisasi vs agropolitan

Kawasan atau ruang suburban akan menjadi tumpuan sekaligus masa depan perkembangan kota-kota di Indonesia, mengingat beban ekologis, sosial dan ekonomi perkotaan sekarang sudah amat berat. Sehingga kawasan suburban layaknya kanvas putih yang siap untuk dilukis di atasnya dimana sang seniman adalah para perencana wilayah. Tumbuhnya permukiman dipinggiran kota merupakan suatu hal yang telah dipandang lazim dalam perkembangan kota. Pengaruh yang mendasari perkembangan ke arah pinggiran kota juga didorong oleh kondisi kota inti yang sudah padat dengan tingkat polusi tinggi dan mahalnya harga lahan. Daldjoeni (1992) mengutip Whynne-Hammond, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suburban sebagai berikut :

1. Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya angkutan umum memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya.

2. Perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan.

3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat yang memungkinkan orang mendapatkan perumahan yang lebih layak.

4. Gerakan pendirian rumah oleh masyarakat. Pemerintah membantu masyarakat yang akan mendirikan rumah lewat pinjaman bank.

5. Dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan.

Kesalahan dalam perencanaan kawasan suburban hanya akan memperluas permasalahan yang ada dan bersumber dari kota inti. Sehingga perlu direncanakan pengembangan kawasan suburban yang yang menjadikan kegagalan pada kota inti sebagai salah satu pijakan dan menghasilkan kawasan baru yang nyaman untuk dihuni, beraktivitas dan mampu meningkatkan kesejahteraan.

Pada awalnya pertimbangan pembangunan perumahan hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selanjutnya dorongan hakikat manusia untuk memperoleh kenyamanan menjadi pendorong meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan suburban. Permasalahan Segregasi Sosial di Suburban walaupun perkembangan terjadi di daerah pinggiran, hal tersebut tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi penduduk lokal. Secara perhitungan ekonomi di atas kertas pertumbuhan kawasan pinggiran menghasilkan eksternalitas yang besar, tumbuhnya investasi membuka kesempatan kerja. Pertanian yang dahulu mendominasi daerah pinggiran kota dengan perputaran uang yang lambat digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa yang mengalir cepat. Secara perhitungan ekonomi hal ini dapat dibenarkan. Namun dengan sudut pandang sosial, eksternalitas masalah baru yang ditimbulkan dari perkembangan sub urban ini bisa jadi lebih besar dibandingkan eksternalitas ekonominya. Perubahan budaya yang cepat tidak sanggup diikuti oleh penduduk asli. Lahan pertanian sebagai aset penduduk asli telah terjual, hasilnya hanya diperuntukkan untuk kegiatan konsumtif. Sedangkan mereka yang masih mempertahankan tanahnya untuk pertanian semakin terdesak oleh lahan terbangun. Penduduk asli tampaknya tidak siap dengan perubahan ini. Budaya agraris yang melatarbelakangi kebiasaan ekonomi menjadikan mereka tidak sanggup mengimbangi kecepatan perputaran ekonomi akibat perubahan yang terjadi. Aset lahan yang terjual tidak digunakan secara produktif, hanya untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan tanah yang terjual telah menjadi perumahan dan tempat usaha bagi penduduk pendatang. Rumah kos, ruko-ruko dan warung kaki lima adalah tempat usaha yang tumbuh dari perubahan di kawasan ini. Eksternalitas ekonomi yang muncul tidak dinikmati oleh penduduk asli.

Membaca uraian kenyataan di atas tampak kontradiktif dengan konsep agropolitan yang sudah barang tentu menjadikan usaha mempertahankan lahan produktif pertanian sebagai tindakan utamanya. Lahan pertanian sebisa mungkin dipertahankan sehingga produksi pertanian tidak menurun yang akan berdampak pada menurunya tingkat kemandirian pangan wilayah. Kebutuhan akan lahan untuk hunian dan lahan untuk pertanian terutama pangan merupakan hal yang tidak mungkin diabaikan dan tidak mungkin hanya dipenuhi salah satu saja, sehingga perlu dikembangkan konsep agropolitan yang mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi penghuninya atau konsep pengembangan kota/wilayah yang seminimal mungkin bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi merupakan hal yang akan menjadi penyebab kegagalan konsep agropolitan karena semakin banyak jumlah penduduk yang masuk akan semakin mengurangi lahan pertanian, untuk mencegah hal tersebut perlu adanya tindakan yang serius dalam mempertahankan pemanfaatan ruang yang telah digariskan dalam tata ruang wilayah sehingga lahan pertanian tidak berubah fungsi. Konsep pengembangan wilayah permukiman terutama dalam hal tata bangunan yang sesuai untuk agropolitan adalah dengan menbangun permukiman secara vertikal (bangunan bertingkat) yang tentunya lebih menghemat lahan. Gambaran tentang keadaan fisik agropolitan adalah sebuah kota dimana dengan ciri fisik bangunan bertingkat, dengan struktur tata ruang dimana wilayah non pertanian (terutama pemukiman dan industri) letaknya berbatasan dengan jalan hingga batas tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku sampai dengan wilayah pertanian. Pemerintah harus mempersiapkan rekayasa sosial budaya karena pembangunan hunian vertikal membawa konsekuensi perubahan tata ruang wilayah, lingkungan hidup, dan sosial budaya masyarakat dari hunian horizontal ke vertikal. Pola pikir perilaku kehidupan di hunian horizontal harus ditinggalkan, etika dan norma baru dalam kehidupan bertetangga dalam hunian vertikal, penggunaan sarana publik bersama-sama dan bertanggung jawab, seperti memakai lift dan mesin cuci bersama. Pakar psikologi sosial, perencana kota, dan perancang bangunan sepakat perubahan pola hidup masyarakat harus ditangani secara serius agar masalah sosial dan kegagalan bangunan dapat diantisipasi. Tampaknya mulai saat ini perlu ditanamkan kepada para pengenbang perumahan bahwa Permasalahan pembangunan perumahan adalah bagaimana mengatasi masalah keterbatasan lahan (efisiensi dan optimalisasi lahan), hemat energi (pengembangan energi alternatif), bahan bangunan murah berkualitas dan biaya terjangkau, kelestarian lingkungan, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

Tidak ada komentar: