Minggu, 26 Juli 2009

kota hemat energi

Pertumbuhan kota yang nyaris tanpa batas wilayah merupakan fenomena kota-kota di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Munculnya kota-kota yang tersebar ke dalam wilayah pinggiran berakibat pada tersebarnya dan kurang meratanya penyediaan pelayanan-pelayanan dari sub-suburban. Akibat lainnya adalah mahalnya biaya pembangunan infrastruktur, meningkatnya kemacetan karena makin bertambahnya volume lalu lintas, hilangnya banyak lahan pertanian, berkurangnya kenyamanan hidup baik di kota maupun di pinggiran serta terancamnya kondisi stabilitas pedesaan yang akhirnya konsumsi energi bagi kota dan warganya juga akan semakin besar dan tidak terelakkan. Dengan kecenderungan ini maka kota-kota akan makin dipandang sebagai lokasi yang paling banyak mengkonsumsi energi.

Penggunaan kendaraan pribadi seakan-akan merupakan satu-satunya jawaban bagi kebutuhan mobilitas yang tidak dapat di tawar. Pertumbuhan jumlah kendaraan di Indonesia (yang sekarang digolongkan negara miskin) mencapai lima juta unit pertahun. Betapa makin beratnya beban yang ditanggung oleh kota-kota kita setiap tahun. Pertumbuhan tersebut memiliki korelasi positif terhadap besarnya polusi dan telah menempatkan Jakarta sebagai kota ketiga terpolusi di dunia, bagaimana dengan kota Banjarmasin dan kota-kota lain di Kalimantan Selatan ? tentu jawabannya adalah belum separah kota Jakarta namun sedang berjalan menuju kearah tersebut walaupun lambat.

Dengan kepadatan populasi penduduk yang besar, maka konsentrasi persoalan-persoalan lingkungan, konsumsi sumber-sumber alam termasuk minyak, akan terakumulasi pada problematika kota, oleh karena itu merencanakan dan mengelola bentuk dan ruang kota dengan kebijakan public yang benar akan menjadi faktor kunci keberhasilan penghematan energi, pada akhirnya jika kebijakan dan prakteknya dapat ditemukan dan dijalankan dengan benar sudah dipastikan akan didapatkan efisiensi dan keuntungan yang besar. Salah satu pandangan/pendapat dalam mewujudkan kota hemat energi adalah kota kompak yang berkelanjutan (sustainable compact city) berciri-ciri fisik sebagai berikut :

Perkembangan Kota Vertikal

Fenomena perkembangan kota-kota di Indonesia saat ini adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas, pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan kota inti. Dengan banyaknya warga masyarakat yang bekerja di kota inti tetapi tinggal di kota-kota pinggiran pasti menyebabkan inefisiensi dari segi waktu, tenaga dan biaya juga masalah konsumsi energi. Oleh sebab itu pembangunan kota secara vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota. Pertumbuhan kota yang cenderung padat dan melebar seharusnya diubah menjadi pertumbuhan yang padat dan tumbuh secara vertikal untuk menjadi kota yang kompak. Solusi hidup dengan bangunan tinggi dengan campuran berbagai fungsi sudah merupakan keharusan atau minimal mulai dipikirkan dan direncanakan, tujuannya untuk memindahkan pergerak eksternal antar wilayah menjadi pergerakan internal dalam kawasan.

Sistim Transportasi Massal

Banyaknya inefisiensi di bidang energi dalam perkembangan kota di Indonesia karena belum tersediannya transportasi masal yang representatif dan memadai. Kemacetan yang terjadi di banyak kota di Indonesia akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera di akhiri, dengan demikian konsumsi energi khususnya BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan sangat bisa terkurangi. Untuk menghambat penggunaan kendaraan pribadi, tingkat pelayanan transportasi massal harus lebih tinggi dari pada tingkat pelayanan mobil dan motor pribadi minimal dalam hal penghematan waktu dan biaya.

Kota Berinti Ganda

Tata guna lahan yang kompak dapat dilakukan dengan menempatkan daerah pemukiman dan komersial serta fungsi lahan lainnya dalam satu lokasi untuk mengurangi akan kebutuhan mobilitas. Dalam satu rencana tata ruang makro, penerapan kota berinti ganda dengan pusat aktifitas dan fasilitas umum yang menyebar di beberapa titik akan mencegah tertariknya mobilitas hanya ke satu titik yang berresiko pada kemacetan, jarak tempuh yang jauh yang otomatis konsumsi bahan bakar menjadi tinggi.

Tata Banguna dan Lingkungan Hemat Energi

Permukaan atap datar bangunan berkepadatan tinggi, aspal untuk jalan dan ruang terbuka (misalnya lapangan parkir) serta kurangnya area hijau di perkotaan berpotensi menjadikan kota sebagai urban heat island yang panasnya bisa mencapai 30 derajat celcius lebih tinggi dibanding daerah rural. Panas yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan konsumsi energi listrik untuk pendinginan, sementara listrik kita saat ini masih bergantung pada BBM. Contoh di Luar negeri yakni di Amerika Serikat tepatnya di kota los Angeles gerakan cool community dengan menanam 3 pohon per satu bangunan, memperbaiki atap dan perkerasan dengan material yang lebih reflektif terhadap panas telah berhasil mengurangi pemakaian listrik sampai dengan setengah giga watt pertahun yang senilai dengan setengah milyar dollar AS.

Kalau pemerintah serius terhadap hal ini bisa saja mereka mewajibkan mengubah aspal di lapangan parker dengan grass block, pencahayaan alamiah di siang hari dengan bukaan yang optimal akan mengurangi energi listrik untuk penerangan ruangan dan penghawaan buatan.

Ruang Pejalan Kaki

Jalur sirkulasi di hampir seluruh kota di Indonesia memberi porsi yang lebih besar bagi kendaraan bermotor, sementara trotoar tak lebih dari 1,2 meter saja lebarnya dan harus berbagi dengan pot bunga, tong sampah, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Kita sering menjumpai trotoar yang tidak nyaman untuk dilewati pejalan kaki misalnya permukaan trotoar yang tidak rata (naik-turun) sehingga pejalan kaki harus berjalan naik turun karena trotoar terpotong oleh akses masuk halam permukiman, pertokoan perkantoran dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat pejalan kaki enggan berjalan di atas trotoar dan memilih berjalan pada lajur yang diperuntukan bagi kendaraan bermotor. Pengadaan trotoar yang representatif mungkin dirasa belum perlu karena jumlah pejalan kaki di Indonesia masih sangat sedikit, tetapi mungkinkah jumlah pejalan kaki akan meningkat bila pedestrian (prasarana pejalan kaki) masih tidak nyaman untuk di gunakan. Jadi selama ini terjadi sikap saling menunggu antara pengadaan pedestrian dan pejalan kaki. Selain itu pengadaan lajur untuk kendaraan tak bermotor seperti sepeda juga jarang ditemui di kota-kota di Indonesia sebab sampai saat ini jumlah pesepeda di Indonesia masih sangat rendah sehingga pemerintah merasa belum perlu pengadaan lajur untuk sepeda.

Tidak ada komentar: